Add caption |
TIPE HUTAN PAPUA
PAPUAN —- Dari catatan Greenpeace, sekitar 300
ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun. Perkebunan kelapa sawit berskala
raksasa menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi,
bukan mustahil hutan Papua bakal musnah puluhan tahun lagi.
Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Pulau New Guinea
pantas disebut “The Second Green Land” di Pasifik Selatan. Hamparan hutan
tropis yang sebagian besar masih alami (75 %) dari angkasa khatulistiwa tampak
menyerupai bentangan permadani hijau di atas lautan pasifik. Termasuk
diantaranya gunung-gunung yang menjulang, dikelilingi dataran rendah hingga
lembah-lembah yang subur berselimutkan pepohonan hijau. Di dalamnya tersimpan
berlaksa-laksa misteri.
Dari belantara pegunungan, keluar ribuan mata air yang jernih bagaikan
kristal bening. Mata air bergabung membentuk ribuan sungai yang meliuk-liuk
menuruni untaian pegunungan terjal hingga ke lautan pasifik nan bergelora.
Eksotisme rimba raya di pulau ini telah menjadi benteng kehidupan bagi
keanekaragaman hayati (biodiversitas) di dalamnya. Tidak heran, para pengarung
samudera dan eksplorer tangguh asal Eropa, China, Arab dan India yang mula-mula
singgah di daratan ini menjuluki New Guinea sebagai surga dunia nan mempesona.
Tingginya nilai keanekaragaman hayati membuat banyak pihak menyebut New
Guinea sebagai Major Tropical Wilderness Area (TWA) atau kawasan Rimba Tropis
Utama. Hutan di pulau ini telah menjadi penyedia utama kehidupan bagi
sedikitnya 1187 suku asli yang mendiaminya. Terbagi antara 312 suku asli di New
Guinea bagian Barat (West Papua) dan 875 suku di Papua New Guinea (PNG). Mereka
hidup secara tradisional dengan bergantung dari alam.
Berdasarkan data yang masih simpang siur, total luas hutan tropis dari
Sorong hingga Samarai berkisar 73,8 juta hektar (80 persen dari luas daratan)
atau sebesar 22 persen luas daratan Indonesia. Dari total luasan ini, negara
tetangga PNG memiliki 34 juta hektar atau 70 persen luas wilayah negara.
Sekitar 25.211.000 hektar (55 persen) merupakan hutan primer. Sedangkan data
BPKH Papua tahun 2004 menyebutkan Pulau New Guinea memiliki luasan hutan
40.803.131.9 hektar. Di dalamnya sudah termasuk hutan primer seluas
27.165.758,31 hektar (66 persen).
Sayangnya, keberadaan hutan tropis di pulau ini terus menyusut seiring
proses degradasi dan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang terjadi dari waktu
ke waktu. Dari total 73.8 juta hektar luas hutan New Guinea yang tercatat pada
2005, kini lantas berkurang secara mencolok. Wilayah New Guinea bagian barat
yang kini masuk dalam negara Indonesia (Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi
penyumbang kerusakan terbesar dibanding negara tetangga Papua New Guinea (PNG).
Data Pemerintah RI menyebutkan, pada 2005-2009 luas hutan Papua berkisar
42,22 juta hektar. Tapi berselang tiga tahun kemudian (2011) mengalami
degradasi hingga tersisa 30,07 juta hektar. Dengan rata-rata deforestasi di
Papua berkisar 143.680 hektar per tahun. Sedangkan laju deforestasi di Provinsi
Papua Barat per tahun rata-rata sebesar 293 ribu hektar atau 25 persen.
Dari fakta tersebut, organisasi lingkungan internasional Greenpeace mencatat
luasan hutan Papua yang hilang pada periode 2000-2009 berkisar 8,19 juta hektar
atau rata-rata 910.000 hektar hutan hilang tiap tahun.
Yang memprihantinkan lagi, LSM lingkungan Telapak pada 2007 mencatat setiap
bulan sekitar 300 ribu meter kubik kayu ditebas dari hutan Papua sehingga tiap
tahun ada sekitar 1 juta hektar hutan rusak. Pembalakan hutan Papua umumnya
dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin. Tapi dilakukan di luar lahan
konsensinya. Dikuatirkan, bila penebangan liar tidak segera dihentikan, LSM
lingkungan itu memperkirakan tahun 2020 hutan Papua bakal musnah.
Padahal hamparan hutan tropis yang membentang dari wilayah kepala burung
bagian barat barat hingga ke bagian ekor pulau ini disebut sebagai salah satu
paru-paru dunia. Selain karena sebagai penghasil oksigen (O2), hutan New Guinea
berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar. Potensi itu tentu
akan sangat menguntungkan bila mengikuti mekanisme perdagangan karbon (carbon
trade) dalam program REDD (Reducing Emision from Deforestation and
Degradation). Agenda internasional untuk mengurangi pemanasan global. Dengan
dana hasil perdagangan karbon, tentu bisa digunakan untuk pembangunan
berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.
***
BILA DITELUSURI lebih lanjut, kerusakan hutan di wilayah ini disebabkan
beberapa faktor. Salah satu penyebab utama karena aktivitas penebangan pohon
secara tidak terkendali (illegal logging) oleh para pengelola sumber daya
hutan. Dalam hal ini karena dampak pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan
(HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya
hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Selain itu faktor perkebunan skala besar, perluasan lahan transmigrasi,
pertambangan hingga kebakaran hutan juga menjadi penyebab musnahnya hutan.
Faktor sosial lain yang ikut mempengaruhi kerusakan hutan secara tidak langsung
adalah tidak adanya kepastian penguasaan sumber daya lahan dan hutan (land
tenure right) sehingga terkadag menimbulkan konflik di masyarakat. Menurut
dekan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Piter Gusbager,
S.Hut. MUP, pemekaran kabupaten baru kini lebih banyak membawa dampak kerusakan
hutan.
Sebab perluasan wilayah pembangunan umumnya tidak berwawasan lingkungan.
Menurut Gusbager, pemekaran kabupaten baru juga mendatangkan investasi skala
besar di sektor perkebunan dan pertambangan. “Tapi justru berpotensi merusak
hutan,” ujarnya. Yang lebih memprihatinkan lagi, para petinggi birokrasi
di Tanah Papua umumnya masih memandang bahwa pembabatan hutan untuk tujuan
investasi dan perluasan pemukiman identik dengan pembangunan. Padahal pandangan
itu tak sepenuhnya benar bahkan keliru.
Di lain pihak pemerintah memang sudah berupaya mengatasi masalah kerusakan
hutan dengan berbagai cara. Salah satunya lewat tindakan hukum represif melalui
Operasi Hutan Lestari II (OHL II) di seluruh Tanah Papua (Provinsi Papua dan
Irian Jaya Barat/PB) guna menanggulangi maraknya praktek illegal logging. Namun
‘kejahatan lingkungan’ jenis ini seakan tak pernah surut atau belum berhasil
dihentikan. Kalau pun pelaku perusakan hutan teridentifikasi, proses hukum
umumnya tak sampai menjerat mereka dengan sanksi berat.
Buktinya, banyak pelaku pembalakan hutan Papua yang masih berleha-leha.
Melenggang dengan aset deposito di bank bernilai milyaran bahkan triliunan
rupiah. Mereka inilai yang masih terus tergiur melakukan aktivitas pembalakan
hutan. Kini belum pasti, berapa luasan hutan Papua yang telah musnah dan akan
terus terdegradasi. Berapa lagi volumetrik hutan Papua yang bakal hilang akibat
praktek illegal logging atau karena faktor lainnya.
Pengaruh Sawit
Organisasi lingkungan internasional Greenpeace mencatat hutan Papua yang
dirusak berkisar 300 ribu hektar per tahun. Kerusakan itu mencakup wilayah
Provinsi Papua dan Papua Barat. Sejumlah perusahaan yang bergerak dalam proyek
perkebunan sawit raksasa dituding sebagai ‘dalang’ rusaknya hutan. Hal itu
diketahui dari pameran gambar kerusakaan lingkungan oleh Greenpeace Papua dan
Port Numbay Green dalam festival budaya Teluk Humbold Port Numbay ke IV yang
pernah digelar awal Agusutus 2012 lalu di pantai Hamadi Kota Jayapura.
Dalam pameran itu, gambar kerusakan hutan dan lingkungan yang dipamerkan
mencakup; perusahaan yang merusak hutan, penebangan pohon secara illegal dan
pengelolaan sumber daya hutan yang tak memihak masyarakat lokal. Dari
keseluruhan gambar yang dipajang, tampak bahwa kerusakan hutan di Papua dalam
tempo beberapa tahun sudah semakin parah. Bahkan bisa dibilang telah memasuki
status ‘emergency.’ Koordinator dan juru kampanye Greenpeace untuk hutan Papua,
Charles Richard Tawaru membenarkan adanya persoalan ini.
Menurutnya, pengrusakan hutan di Papua dan Papua Barat berkisar 300 ribu
hektar per tahun. “Pengrusakan itu terjadi diseluruh Tanah Papua,” tambahnya.
Pengaruh investasi di sektor industri kehutanan yang masuk ke Papua dan Papua
Barat masih menjadi penyumbang kerusakan terbesar. Sebut saja perusahaan
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak memperhatikan kegunaan hutan.
Kerusakan hutan yang sangat mencolok juga disumbang perusahaan kelapa sawit dan
perusahaan raksasa lainnya.
Salah satu permasalahan yang mendapat perhatian luas adalah hadirnya mega
proyek Merauke Integrated Food dan Energi Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke
sejak 2010 lalu. Proyek ini mengambil porsi terbesar kerusakan hutan Papua karena
pada tahap pertama hutan yang dibuka seluas 228.022 hektar. Dengan begitu
terbukti merusak ribuan hektar hutan dan menyengsarakan masyarakat asli pemilik
lahan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP)
Pemerintah Kabupaten Merauke menyebutkan, sekitar 32 perusahaan telah mendapat
izin prinsip untuk mengeroyok beberapa sektor unggulan dalam proyek ini.
Disini sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) mendapat porsi lahan terbesar,
yakni 973.057.56 hektar. Perkebunan kelapa sawit sebagai sektor unggulan kedua
menyerap lahan seluas 316.347 hektar. Untuk perkebunan tebu seluas 156.812
hektar, perkebunan jagung 97.000 hektar, areal tanaman pangan 69.000 hektar,
pengolahan kayu serpih 2.818 hektar dan areal pembangunan dermaga 1.200 hektar.
Sesuai ijin yang sudah dikeluarkan, total lahan yang akan digunakan sebesar
1.616.234,56 hektar dalam mega proyekMIFEE.
Beberapa perusahaan besar yang terlibat dalam proyek ini antara lain;
Wilmar, Sinar Mas Grup, Bakrie Sumatera Plantation, Medco, Bangun Cipta Sarana
dan Artha Graha. Wilmar mendapat alokasi areal seluas 200.000 hektar. Padahal
dalam Cetak Biru Road Map Swasembada Gula Nasional 2010-2014, Wilmar hanya
membutuhkan areal seluas 10.000 hektar dengan kebutuhan tambahan areal 10.000
hektar dan kapasitas pabrik 8000 ton perhari. Pada tahap pertama, mega proyek
MIFEE mencakup area seluas 480.000 hektar. Khusus untuk Kawasan Sentra Produksi
Pertanian (KSPP), telah terbagi dalam empat cluster, yaitu KSPP I berlokasi di
Merauke seluas 90.900 hektar, dengan komoditas utama padi, jagung dan
perikanan.
KSPP II berlokasi di Kumbe, seluas 214.300 hektar. Komoditi unggulan; tebu,
jagung, kacang-kacangan, ternak sapi dan perikanan. KSPP III di Yeinan, seluas
82.900 hektar dengan komoditi; jagung, kacang-kacangan, tebu, buah-buahan,
ternak sapi dan perikanan. KSPP IV di Bian seluas 91.700 hektar. Dengan
komoditi; kacang-kacangan, tebu, buah-buahan, ternak sapi dan perikanan. Mega
proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Lumbung Pangan
dan Energi Terpadu Merauke resmi dicanangkan mantan bupati Merauke, John Gluba
Gebze saat perayaan HUT Kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010.
Mega proyek ini ternyata tidak hanya membalak hutan. Sekretaris Lembaga
Masyarakat Adat (LMA) Kampung Kaiburse Distrik Malind, Paulus Samkakai mengaku,
masyarakat adat di kampungnya sebagai cakupan area mega proyek ini pun ditekan
Pemerintah agar mengijinkan masuknya investor. Terlebih saat mega proyek ini
mulai berjalan. Padahal mega proyek MIFEE di Merauke selain terbukti
mendatangkan dampak buruk atas lingkungan, juga membuat masyarakat asli merana.
Ini terjadi lantaran hutan sebagai sumber penyedia kehidupan mereka telah
dibabat demi kepentingan investasi skala besar.
Tidak hanya di Merauke. Masyarakat asli di Keerom pun mengalami nasib yang
sama sejak daerahnya dijadikan wilayah transmigrasi plus areal perkebunan
kelapa sawit di tahun 1982. Pada Maret 2012 lalu, masyarakat adat di daerah ini
terpaksa memalang pabrik kelapa sawit milik PTPN 2 yang beroperasi di Arso,
ibukota Kabupaten Keerom. Pemalangan dipicu penggunaan lahan sawit oleh
perusahaan yang melebihi total lahan sesuai kesepakatan awal. Sudah begitu,
PTPN 2 juga belum melunasi pembayaran tanah yang digarap.
Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Keerom, Servo Tuamis
menjelaskan, lahan kelapa sawit di Arso yang sementara digarap perusahaan
kelapa sawit PTPN 2 seluas 50.000 hektar lebih. Padahal sesuai kesepakatan
sebelumnya, tanah yang dilepas pemerintah atas persetujuan masyarakat tak
seluas itu. Menurutnya, tuntutan masyarakat mengacu pada kesepakatan tanggal 19
Oktober 1982 silam, saat Keerom masih menjadi salah satu distrik dari Kabupaten
Jayapura. Dalam kesepakatan itu, Bas Youwe selaku penjabat Bupati Jayapura
meminta 5000 hektar areal hutan masyarakat untuk dikelola menjadi lahan kebun
sawit Arso.
Namun kenyataan di lapangan berbeda. Perusahaan sawit justru mengelola
50.000 hektar lebih. “Ini tidak dibayar sehingga jadi masalah sampai saat
ini,” tutur Servo kesal. Untuk menangani masalah sawit Arso, Pemda Provinsi
Papua ikut turun tangan. Kepala Bagian Pertanahan Provinsi Papua, Petrus Korwa
menuturkan, pihaknya sudah berupaya mengundang perusahaan dan perwakilan
masyarakat guna membicarakan masalah ini. Tapi tak satu pun pihak yang diundang
hadir. Kini 30 tahun sudah berlalu. Usia dimana PTPN 2 telah berjaya dengan
membabat hutan, memperluas lahan dan mengelola perkebunan Sawit di Arso
Kabupaten Keerom.
Sawit Meluas
Perkebunan sawit berskala raksasa sejauh ini sudah terbukti mendatangkan
masalah lingkungan dan malapetaka bagi masyarakat pemilik lahan dari aspek
sosial. Di wilayah Sumatera dan Kalimantan misalnya, keberadaan perkebunan
sawit dalam jumlah besar justru berdampak penghancuran ribuan hektar hutan
primer di kedua wilayah itu. Akibatnya, masyarakat lokal sebagai pemilik lahan
yang tadinya bisa hidup tenang hanya dengan bergantung dari hasil hutan,
berubah pola hidupnya lantaran menjadi buruh perkebunan sawit dengan upah
rendah.
Setelah hutan Sumatera dan Kalimantan dijarah habis-habisan, yang tersisa
saat ini hanyalah hutan Papua di timur wilayah negara Indonesia. Sebagai
pemilik hutan tropis yang relatif masih utuh bersama keindahannya, hutan Papua
mulai terancam karena dincar banyak pihak. Dalam hal ini tidak hanya perusahaan
pemegang HPH yang tertarik mengeksploitasi kayu. Perusahaan-perusahaan
perkebunan sawit nasional, swasta nasional hingga perusahaan sawit asal
Malaysia dan Korea, mulai melirik Tanah Papua sebagai daerah baru ekspansi
lahan sawit.
Bayangkan, tak sampai sepuluh tahun, sudah hadir ribuan hektar kebun sawit
baru di sejumlah wilayah. Misalnya untuk wilayah Provinsi Papua, PT. Tandan
Sawita Papua (anak perusahaan PT. Rajawali Grup) telah hadir dengan membalak
hutan seluas 18.337 hektar di Kampung Yetti, Kabupaten Keroom untuk dijadikan
lahan sawit. Di Lereh Kabupaten Jayapura, PT. Sinar Mas Grup (SMG) pada 2010
ikut membabat 5000 hektar lebih area hutan untuk menambah ribuan hektar kebun
sawit lama.
Ironisnya, jumlah lahan sawit baru di kedua wilayah tersebut belum
terhitung pembukaan ribuan hektar kebun sawit baru oleh PTP II Riau di wilayah
Garusa Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Pada wilayah Provinsi Papua
Barat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkoalisi dengan para tokoh
masyarakat lokal untuk mengijinkan beberapa perusahaan perkebunan sawit
membabat ribuan hektar hutan masyarakat adat sebagai lahan sawit. Sebut saja
PT. Henrison Iriana Grup yang leluasa membabat 21.500 hektar hutan di Distrik
Klamono Kabupaten Sorong guna dijadikan lahan sawit.
Di Distrik Sidey Manokwari, PT. Medco telah berekspansi dengan resmi
mendapat hak konsensi lahan sawit seluas 45.000 hektar. Dari jumlah 45.000
hektar lahan konsensi milik Medco di Sidey, luas hutan yang sudah dibabat
berkisar 1500 hektar sebagai lahan pembuka kebun sawit. Kemudian di Distrik
Moswaren Kabupaten Sorong Selatan, kebun sawit yang direncanakan oleh PT.
Rajawali Grup berkisar 23.000 hektar. Dengan status tanah sedang dalam proses
pelepasan oleh masyarakat adat. Sejumlah lahan sawit baru tersebut belum
termasuk calon wilayah konsensi baru yang sedang diproses perusahaan untuk
mendapat ijin perluasan.
Yang disayangkan, akibat ekspansi lahan sawit yang gencar dilakukan
sejumlah perusahaan, eksploitasi hutan Papua semakin tidak terkontrol lagi.
Penyebabnya karena akses yang sulit, keterbatasan fasilitas dan sumber daya
penunjang dari Pemerintah, masyarakat adat dan kelompok organisasi non
pemerintah (LSM) yang konsen memantau kerusakan lingkungan. Belum lagi perilaku
elit birokrasi daerah, tokoh masyarakat adat dan elit-elit lokal yang tak bijak
dalam membangun daerahnya. Beberapa kabupaten yang memiliki hutan primer yang
luas masih dijadikan aset penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) melalui
investasi dan eksploitasi hutan.
Masalah lain, pola-pola Koperasi Perkayuan/Pengelolaan Kayu Masyarakat
(KOPERMAS) yang terbukti hanya memanfaatkan masyarakat adat masih terus
berlangsung di hampir semua wilayah. Misalnya di Kabupaten Jayapura, Keroom dan
daerah perbatasan PNG, Fakfak, Kaimana, Bintuni, Sorong Selatan, Manokwari,
Teluk Wondama Raja Ampat, Kabupate Nabire, Serui, Wapoga/Waropen, Sarmi,
Mamberamo, Bonggo, Unurum Guay dan Lereh Kabupaten Jayapura. Persoalan ini juga
ikut menyumbag proses pengurangan luasan hutan Papua.
Menurut data Greenpeace, ancaman kerusakan hutan Papua secara massif telah
berlangsung sejak 2008 lalu. Ini terindikasi dari adanya pembukaan hutan sagu
dan nipah di selatan Jayapura serta pembalakan ilegal di wilayah konsesi PT
Kaltim Hutama dan PT Centricodi daerah Kaimana, Papua Barat. Memang sejauh ini
telah ada upaya advokasi bersama yang dilakukan Greenpeace, Forum Kerjasama
(FOKER) LSM dan sejumlah jaringan organisasi non pemerintah lainnya guna
membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat luas. Selain itu meminta
Pemerintah agar lebih berkomitmen dan serius dalam pelestarian hutan Papua.
Upaya advokasi dan kampanye bersama penyelamatan hutan Papua sudah
berlangsung beberapa tahun lalu. Kiat ini telah terformulasi ke dalam tema
besar kampanye: “Selamatkan Hutan dan Manusia Papua.” Alasannya, hutan dan
manusia Papua saling terkait sehingga upaya penyelamatannya merupakan tugas
berat yang harus diseriusi. Mengutip catatan kepala Dinas kehutanan Provinsi
Papua, Ir. Marthen Kayoi di Majalah Teropong; “dengan melihat kondisi hutan
yang semakin rusak, perlu pelibatan lembaga adat sebagai mitra kerja pemerintah
yang aktif dalam penyusunan, penetapan, sosialisasi dan implementasi tata
kelola pengelolaan hutan.”
“Bila ada perusahaan yang nakal, dinas kehutanan akan menyurati dan menegur
perusahan yang bersangkutan.” Kalau perlu dihadapkan ke ranah hukum dengan
sanksi tegas. Sebab kekayaan hutan tropis Papua yang terhampar luas merupakan
anugerah Tuhan yang patut di syukuri sekaligus dilindungi. Jangan sampai anugerah
yang tak bernilai ini justru menjadi kutukan di kemudian hari. Dengan
menyelamatkan hutan Papua, berarti ikut menyelamatkan kekayaan alam bersama
manusia dan budaya Papua yang tak ternilai.