Minggu, 17 Februari 2013

TIPE HUTAN TROPIS PAPUA TENGAH



Add caption

TIPE HUTAN  PAPUA

PAPUAN —- Dari catatan Greenpeace, sekitar 300 ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun. Perkebunan kelapa sawit berskala raksasa menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi, bukan mustahil hutan Papua bakal musnah puluhan tahun  lagi.  

Sebagai salah satu pemilik hutan tropis terbesar di dunia, Pulau New Guinea pantas disebut “The Second Green Land” di Pasifik Selatan. Hamparan hutan tropis yang sebagian besar masih alami (75 %) dari angkasa khatulistiwa tampak menyerupai bentangan permadani hijau di atas lautan pasifik. Termasuk diantaranya gunung-gunung yang menjulang, dikelilingi dataran rendah hingga lembah-lembah yang subur berselimutkan pepohonan hijau. Di dalamnya tersimpan berlaksa-laksa misteri.

Dari belantara pegunungan, keluar ribuan mata air yang jernih bagaikan kristal bening. Mata air bergabung membentuk ribuan sungai yang meliuk-liuk menuruni untaian pegunungan terjal hingga ke lautan pasifik nan bergelora. Eksotisme rimba raya di pulau ini telah menjadi benteng kehidupan bagi keanekaragaman hayati (biodiversitas) di dalamnya. Tidak heran, para pengarung samudera dan eksplorer tangguh asal Eropa, China, Arab dan India yang mula-mula singgah di daratan ini menjuluki New Guinea sebagai surga dunia nan mempesona.

Tingginya nilai keanekaragaman hayati membuat banyak pihak menyebut New Guinea sebagai Major Tropical Wilderness Area (TWA) atau kawasan Rimba Tropis Utama. Hutan di pulau ini telah menjadi penyedia utama kehidupan bagi sedikitnya 1187 suku asli yang mendiaminya. Terbagi antara 312 suku asli di New Guinea bagian Barat (West Papua) dan 875 suku di Papua New Guinea (PNG). Mereka hidup secara tradisional dengan bergantung dari alam.

Berdasarkan data yang masih simpang siur, total luas hutan tropis dari Sorong hingga Samarai berkisar 73,8 juta hektar (80 persen dari luas daratan) atau sebesar 22 persen luas daratan Indonesia. Dari total luasan ini, negara tetangga PNG memiliki 34 juta hektar atau 70 persen luas wilayah negara. Sekitar 25.211.000 hektar (55 persen) merupakan hutan primer. Sedangkan data BPKH Papua tahun 2004 menyebutkan Pulau New Guinea memiliki luasan hutan 40.803.131.9 hektar. Di dalamnya sudah termasuk hutan primer seluas 27.165.758,31 hektar  (66 persen).

Sayangnya, keberadaan hutan tropis di pulau ini terus menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang terjadi dari waktu ke waktu. Dari total 73.8 juta hektar luas hutan New Guinea yang tercatat pada 2005, kini lantas berkurang secara mencolok. Wilayah New Guinea bagian barat yang kini masuk dalam negara Indonesia (Provinsi Papua dan Papua Barat) menjadi penyumbang kerusakan terbesar dibanding negara tetangga Papua New Guinea (PNG).

Data Pemerintah RI menyebutkan, pada 2005-2009 luas hutan Papua berkisar 42,22 juta hektar. Tapi berselang tiga tahun kemudian (2011) mengalami degradasi hingga tersisa 30,07 juta hektar. Dengan rata-rata deforestasi di Papua berkisar 143.680 hektar per tahun. Sedangkan laju deforestasi di Provinsi Papua Barat per tahun rata-rata sebesar  293 ribu hektar atau 25 persen. Dari fakta tersebut, organisasi lingkungan internasional Greenpeace mencatat luasan hutan Papua yang hilang pada periode 2000-2009 berkisar 8,19 juta hektar atau rata-rata 910.000 hektar hutan hilang tiap tahun.

Yang memprihantinkan lagi, LSM lingkungan Telapak pada 2007 mencatat setiap bulan sekitar 300 ribu meter kubik kayu ditebas dari hutan Papua sehingga tiap tahun ada sekitar 1 juta hektar hutan rusak. Pembalakan hutan Papua umumnya dilakukan perusahaan kayu yang memiliki izin. Tapi dilakukan di luar lahan konsensinya. Dikuatirkan, bila penebangan liar tidak segera dihentikan, LSM lingkungan itu memperkirakan tahun 2020 hutan Papua bakal musnah.

Padahal hamparan hutan tropis yang membentang dari wilayah kepala burung bagian barat barat hingga ke bagian ekor pulau ini disebut sebagai salah satu paru-paru dunia. Selain karena sebagai penghasil oksigen (O2), hutan New Guinea berfungsi menyerap karbon dioksida (CO2) dalam jumlah besar. Potensi itu tentu akan sangat menguntungkan bila mengikuti mekanisme perdagangan karbon (carbon trade) dalam program REDD (Reducing Emision from Deforestation and Degradation). Agenda internasional untuk mengurangi pemanasan global. Dengan dana hasil perdagangan karbon, tentu bisa digunakan untuk pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.
***
BILA DITELUSURI lebih lanjut, kerusakan hutan di wilayah ini disebabkan beberapa faktor. Salah satu penyebab utama karena aktivitas penebangan pohon secara tidak terkendali (illegal logging) oleh para pengelola sumber daya hutan. Dalam hal ini karena dampak pelaksanaan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) yang dimiliki perusahaan pembalak hutan maupun konversi sumber daya hutan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Selain itu faktor perkebunan skala besar, perluasan lahan transmigrasi, pertambangan hingga kebakaran hutan juga menjadi penyebab musnahnya hutan. Faktor sosial lain yang ikut mempengaruhi kerusakan hutan secara tidak langsung adalah tidak adanya kepastian penguasaan sumber daya lahan dan hutan (land tenure right) sehingga terkadag menimbulkan konflik di masyarakat. Menurut dekan Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, Piter Gusbager, S.Hut. MUP, pemekaran kabupaten baru kini lebih banyak membawa dampak kerusakan hutan.

Sebab perluasan wilayah pembangunan umumnya tidak berwawasan lingkungan. Menurut Gusbager, pemekaran kabupaten baru juga mendatangkan investasi skala besar di sektor perkebunan dan pertambangan. “Tapi justru berpotensi merusak hutan,” ujarnya. Yang lebih  memprihatinkan lagi, para petinggi birokrasi di Tanah Papua umumnya masih memandang bahwa pembabatan hutan untuk tujuan investasi dan perluasan pemukiman identik dengan pembangunan. Padahal pandangan itu tak sepenuhnya benar bahkan keliru.

Di lain pihak pemerintah memang sudah berupaya mengatasi masalah kerusakan hutan dengan berbagai cara. Salah satunya lewat tindakan hukum represif melalui Operasi Hutan Lestari II (OHL II) di seluruh Tanah Papua (Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat/PB) guna menanggulangi maraknya praktek illegal logging. Namun ‘kejahatan lingkungan’ jenis ini seakan tak pernah surut atau belum berhasil dihentikan. Kalau pun pelaku perusakan hutan teridentifikasi, proses hukum umumnya tak sampai menjerat mereka dengan sanksi berat.

Buktinya, banyak pelaku pembalakan hutan Papua yang masih berleha-leha. Melenggang dengan aset deposito di bank bernilai milyaran bahkan triliunan rupiah. Mereka inilai yang masih terus tergiur melakukan aktivitas pembalakan hutan. Kini belum pasti, berapa luasan hutan Papua yang telah musnah dan akan terus terdegradasi. Berapa lagi volumetrik hutan Papua yang bakal hilang akibat praktek illegal logging atau karena faktor lainnya.

Pengaruh Sawit

Organisasi lingkungan internasional Greenpeace mencatat hutan Papua yang dirusak berkisar 300 ribu hektar per tahun. Kerusakan itu mencakup wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat. Sejumlah perusahaan yang bergerak dalam proyek perkebunan sawit raksasa dituding sebagai ‘dalang’ rusaknya hutan. Hal itu diketahui dari pameran gambar kerusakaan lingkungan oleh Greenpeace Papua dan Port Numbay Green dalam festival budaya Teluk Humbold Port Numbay ke IV yang pernah digelar awal Agusutus 2012 lalu di pantai Hamadi Kota Jayapura.

Dalam pameran itu, gambar kerusakan hutan dan lingkungan yang dipamerkan mencakup; perusahaan yang merusak hutan, penebangan pohon secara illegal dan pengelolaan sumber daya hutan yang tak memihak masyarakat lokal. Dari keseluruhan gambar yang dipajang, tampak bahwa kerusakan hutan di Papua dalam tempo beberapa tahun sudah semakin parah. Bahkan bisa dibilang telah memasuki status ‘emergency.’ Koordinator dan juru kampanye Greenpeace untuk hutan Papua, Charles Richard Tawaru membenarkan adanya persoalan ini.

Menurutnya, pengrusakan hutan di Papua dan Papua Barat berkisar 300 ribu hektar per tahun. “Pengrusakan itu terjadi diseluruh Tanah Papua,” tambahnya. Pengaruh investasi di sektor industri kehutanan yang masuk ke Papua dan Papua Barat masih menjadi penyumbang kerusakan terbesar. Sebut saja perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang tidak memperhatikan kegunaan hutan. Kerusakan hutan yang sangat mencolok juga disumbang perusahaan kelapa sawit dan perusahaan raksasa lainnya.
Salah satu permasalahan yang mendapat perhatian luas adalah hadirnya mega proyek Merauke Integrated Food dan Energi Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke sejak 2010 lalu. Proyek ini mengambil porsi terbesar kerusakan hutan Papua karena pada tahap pertama hutan yang dibuka seluas 228.022 hektar. Dengan begitu terbukti merusak ribuan hektar hutan dan menyengsarakan masyarakat asli pemilik lahan. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perizinan (BKPMDP) Pemerintah Kabupaten Merauke menyebutkan, sekitar 32 perusahaan telah mendapat izin prinsip untuk mengeroyok beberapa sektor unggulan dalam proyek ini.

Disini sektor Hutan Tanaman Industri (HTI) mendapat porsi lahan terbesar, yakni 973.057.56 hektar. Perkebunan kelapa sawit sebagai sektor unggulan kedua menyerap lahan seluas 316.347 hektar. Untuk perkebunan tebu seluas 156.812 hektar, perkebunan jagung 97.000 hektar, areal tanaman pangan 69.000 hektar, pengolahan kayu serpih 2.818 hektar dan areal pembangunan dermaga 1.200 hektar. Sesuai ijin yang sudah dikeluarkan, total lahan yang akan digunakan sebesar 1.616.234,56 hektar dalam mega proyekMIFEE.

Beberapa perusahaan besar yang terlibat dalam proyek ini antara lain; Wilmar, Sinar Mas Grup, Bakrie Sumatera Plantation, Medco, Bangun Cipta Sarana dan Artha Graha. Wilmar mendapat alokasi areal seluas 200.000 hektar. Padahal dalam Cetak Biru Road Map Swasembada Gula Nasional 2010-2014, Wilmar hanya membutuhkan areal seluas 10.000 hektar dengan kebutuhan tambahan areal 10.000 hektar dan kapasitas pabrik 8000 ton perhari. Pada tahap pertama, mega proyek MIFEE mencakup area seluas 480.000 hektar. Khusus untuk Kawasan Sentra Produksi Pertanian (KSPP), telah terbagi dalam empat cluster, yaitu KSPP I berlokasi di Merauke seluas 90.900 hektar, dengan komoditas utama padi, jagung dan perikanan.

KSPP II berlokasi di Kumbe, seluas 214.300 hektar. Komoditi unggulan; tebu, jagung, kacang-kacangan, ternak sapi dan perikanan. KSPP III di Yeinan, seluas 82.900 hektar dengan komoditi; jagung, kacang-kacangan, tebu, buah-buahan, ternak sapi dan perikanan. KSPP IV di Bian seluas 91.700 hektar. Dengan komoditi; kacang-kacangan, tebu, buah-buahan, ternak sapi dan perikanan. Mega proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke resmi dicanangkan mantan bupati Merauke, John Gluba Gebze saat perayaan HUT Kota Merauke ke 108 tanggal 12 Februari 2010.

Mega proyek ini ternyata tidak hanya membalak hutan. Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kampung Kaiburse Distrik Malind, Paulus Samkakai mengaku, masyarakat adat di kampungnya sebagai cakupan area mega proyek ini pun ditekan Pemerintah agar mengijinkan masuknya investor. Terlebih saat mega proyek ini mulai berjalan. Padahal mega proyek MIFEE di Merauke selain terbukti mendatangkan dampak buruk atas lingkungan, juga membuat masyarakat asli merana. Ini terjadi lantaran hutan sebagai sumber penyedia kehidupan mereka telah dibabat demi kepentingan investasi skala besar.

Tidak hanya di Merauke. Masyarakat asli di Keerom pun mengalami nasib yang sama sejak daerahnya dijadikan wilayah transmigrasi plus areal perkebunan kelapa sawit di tahun 1982. Pada Maret 2012 lalu, masyarakat adat di daerah ini terpaksa memalang pabrik kelapa sawit milik PTPN 2 yang beroperasi di Arso, ibukota Kabupaten Keerom. Pemalangan dipicu penggunaan lahan sawit oleh perusahaan yang melebihi total lahan sesuai kesepakatan awal. Sudah begitu, PTPN 2 juga belum melunasi pembayaran tanah yang digarap.
Ketua Dewan Adat  Papua (DAP)  wilayah Keerom, Servo Tuamis menjelaskan, lahan kelapa sawit di Arso yang sementara digarap perusahaan kelapa sawit PTPN 2 seluas 50.000 hektar lebih. Padahal sesuai kesepakatan sebelumnya, tanah yang dilepas pemerintah atas persetujuan masyarakat tak seluas itu. Menurutnya, tuntutan masyarakat mengacu pada kesepakatan tanggal 19 Oktober 1982 silam, saat Keerom masih menjadi salah satu distrik dari Kabupaten Jayapura. Dalam kesepakatan itu, Bas Youwe selaku penjabat Bupati Jayapura meminta 5000 hektar areal hutan masyarakat untuk dikelola menjadi lahan kebun sawit Arso.

Namun kenyataan di lapangan berbeda. Perusahaan sawit justru mengelola  50.000 hektar lebih. “Ini tidak dibayar sehingga jadi masalah sampai saat ini,” tutur Servo kesal. Untuk menangani masalah sawit Arso, Pemda Provinsi Papua ikut turun tangan. Kepala Bagian Pertanahan Provinsi Papua, Petrus Korwa menuturkan, pihaknya sudah berupaya mengundang perusahaan dan perwakilan masyarakat guna membicarakan masalah ini. Tapi tak satu pun pihak yang diundang hadir. Kini 30 tahun sudah berlalu. Usia dimana PTPN 2 telah berjaya dengan membabat hutan, memperluas lahan dan mengelola perkebunan Sawit di Arso Kabupaten Keerom.

Sawit Meluas

Perkebunan sawit berskala raksasa sejauh ini sudah terbukti mendatangkan masalah lingkungan dan malapetaka bagi masyarakat pemilik lahan dari aspek sosial. Di wilayah Sumatera dan Kalimantan misalnya, keberadaan perkebunan sawit dalam jumlah besar justru berdampak penghancuran ribuan hektar hutan primer di kedua wilayah itu. Akibatnya, masyarakat lokal sebagai pemilik lahan yang tadinya bisa hidup tenang hanya dengan bergantung dari hasil hutan, berubah pola hidupnya lantaran menjadi buruh perkebunan sawit dengan upah rendah.

Setelah hutan Sumatera dan Kalimantan dijarah habis-habisan, yang tersisa saat ini hanyalah hutan Papua di timur wilayah negara Indonesia. Sebagai pemilik hutan tropis yang relatif masih utuh bersama keindahannya, hutan Papua mulai terancam karena dincar banyak pihak. Dalam hal ini tidak hanya perusahaan pemegang HPH yang tertarik mengeksploitasi kayu. Perusahaan-perusahaan perkebunan sawit nasional, swasta nasional hingga perusahaan sawit asal Malaysia dan Korea, mulai melirik Tanah Papua sebagai daerah baru ekspansi lahan sawit.

Bayangkan, tak sampai sepuluh tahun, sudah hadir ribuan hektar kebun sawit baru di sejumlah wilayah. Misalnya untuk wilayah Provinsi Papua, PT. Tandan Sawita Papua (anak perusahaan PT. Rajawali Grup) telah hadir dengan membalak hutan seluas 18.337 hektar di Kampung Yetti, Kabupaten Keroom untuk dijadikan lahan sawit. Di Lereh Kabupaten Jayapura, PT. Sinar Mas Grup (SMG) pada 2010 ikut membabat 5000 hektar lebih area hutan untuk menambah ribuan hektar kebun sawit lama.

Ironisnya, jumlah lahan sawit baru di kedua wilayah tersebut belum terhitung pembukaan ribuan hektar kebun sawit baru oleh PTP II Riau di wilayah Garusa Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura. Pada wilayah Provinsi Papua Barat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berkoalisi dengan para tokoh masyarakat lokal untuk mengijinkan beberapa perusahaan perkebunan sawit membabat ribuan hektar hutan masyarakat adat sebagai lahan sawit. Sebut saja PT. Henrison Iriana Grup yang leluasa membabat 21.500 hektar hutan di Distrik Klamono Kabupaten Sorong guna dijadikan lahan sawit.

Di Distrik Sidey Manokwari, PT. Medco telah berekspansi dengan resmi mendapat hak konsensi lahan sawit seluas 45.000 hektar. Dari jumlah 45.000 hektar lahan konsensi milik Medco di Sidey, luas hutan yang sudah dibabat berkisar 1500 hektar sebagai lahan pembuka kebun sawit. Kemudian di Distrik Moswaren Kabupaten Sorong Selatan, kebun sawit yang direncanakan oleh PT. Rajawali Grup berkisar 23.000 hektar. Dengan status tanah sedang dalam proses pelepasan oleh masyarakat adat. Sejumlah lahan sawit baru tersebut belum termasuk calon wilayah konsensi baru yang sedang diproses perusahaan untuk mendapat ijin perluasan.

Yang disayangkan, akibat ekspansi lahan sawit yang gencar dilakukan sejumlah perusahaan, eksploitasi hutan Papua semakin tidak terkontrol lagi. Penyebabnya karena akses yang sulit, keterbatasan fasilitas dan sumber daya penunjang dari Pemerintah, masyarakat adat dan kelompok organisasi non pemerintah (LSM) yang konsen memantau kerusakan lingkungan. Belum lagi perilaku elit birokrasi daerah, tokoh masyarakat adat dan elit-elit lokal yang tak bijak dalam membangun daerahnya. Beberapa kabupaten yang memiliki hutan primer yang luas masih dijadikan aset penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) melalui investasi dan eksploitasi hutan.

Masalah lain, pola-pola Koperasi Perkayuan/Pengelolaan Kayu Masyarakat (KOPERMAS) yang terbukti hanya memanfaatkan masyarakat adat masih terus berlangsung di hampir semua wilayah. Misalnya di Kabupaten Jayapura, Keroom dan daerah perbatasan PNG, Fakfak, Kaimana, Bintuni, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Wondama Raja Ampat, Kabupate Nabire, Serui, Wapoga/Waropen, Sarmi, Mamberamo, Bonggo, Unurum Guay dan Lereh Kabupaten Jayapura. Persoalan ini juga ikut menyumbag proses pengurangan luasan hutan Papua.

Menurut data Greenpeace, ancaman kerusakan hutan Papua secara massif telah berlangsung sejak 2008 lalu. Ini terindikasi dari adanya pembukaan hutan sagu dan nipah di selatan Jayapura serta pembalakan ilegal di wilayah konsesi PT Kaltim Hutama dan PT Centricodi daerah Kaimana, Papua Barat. Memang sejauh ini telah ada upaya advokasi bersama yang dilakukan Greenpeace, Forum Kerjasama (FOKER) LSM dan sejumlah jaringan organisasi non pemerintah lainnya guna membangun pemahaman dan kesadaran masyarakat luas. Selain itu meminta Pemerintah agar lebih berkomitmen dan serius dalam pelestarian hutan Papua.

Upaya advokasi dan kampanye bersama penyelamatan hutan Papua sudah berlangsung beberapa tahun lalu. Kiat ini telah terformulasi ke dalam tema besar kampanye: “Selamatkan Hutan dan Manusia Papua.” Alasannya, hutan dan manusia Papua saling terkait sehingga upaya penyelamatannya merupakan tugas berat yang harus diseriusi. Mengutip catatan kepala Dinas kehutanan Provinsi Papua, Ir. Marthen Kayoi di Majalah Teropong; “dengan melihat kondisi hutan yang semakin rusak, perlu pelibatan lembaga adat sebagai mitra kerja pemerintah yang aktif dalam penyusunan, penetapan, sosialisasi dan implementasi tata kelola pengelolaan hutan.”

“Bila ada perusahaan yang nakal, dinas kehutanan akan menyurati dan menegur perusahan yang bersangkutan.” Kalau perlu dihadapkan ke ranah hukum dengan sanksi tegas. Sebab kekayaan hutan tropis Papua yang terhampar luas merupakan anugerah Tuhan yang patut di syukuri sekaligus dilindungi. Jangan sampai anugerah yang tak bernilai ini justru menjadi kutukan di kemudian hari. Dengan menyelamatkan hutan Papua, berarti ikut menyelamatkan kekayaan alam bersama manusia dan budaya Papua yang tak ternilai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar